Ironi Perayaan Juara Bhayangkara FC di Stadion Patriot; Pelajaran Berharga Bagi Negeri ini

Dua pekan terakhir sepak bola Indonesia menjadi perhatian banyak pihak. Beragam kisah yang mengejutkan, tak terduga, bahkan mengherankan muncul secara tiba-tiba. Banyak yang merasa bahagia, kecewa, dan seolah-olah tak percaya.


Ironisnya itu terjadi hampir di semua lini. Di Liga 2 misalnya. Pelaksanaan pertandingan babak 8 besar yang di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Bekasi, tiba-tiba dipindahkan ke Bandung. Penyebabnya, pengelola meminta kejelasan soal tanggungjawab kerusakan infrastruktur stadion akibat keributan yang terjadi pada final kompetisi U-19, pekan lalu.

Pada Liga 1 lebih parah lagi. Gara-gara keributan soal administratif di laga Mitra Kukar vs Bhayangkara FC, persaingan juara tiba-tiba berubah. Bali United yang awalnya berada di atas angin, harus gigit jari lantaran Bhayangkara FC dinyatakan menang WO pada laga versus Mitra Kukar.

 Apesnya, pada pekan ke-33, The Guardian menang atas Madura United. Itu artinya, apa pun hasil pekan ke-34 yang dilakoni Bhayangkara FC, tak akan mengubah status mereka sebagai juara musim ini.

Gayung bersambut. Minggu malam (12/11/2017), Bhayangkara FC menjamu Persija Jakarta di Stadion Patriot, Bekasi. Sebelum pertandingan digelar, beragam peralatan untuk perayaan juara telah disiapkan di pinggir stadion. Mulai dari peralatan untuk grup musik pengiring sampai dengan backdrop juara.

Sebelum pertandingan, pelatih Bhayangkara Simon McMenemy berkoar-koar mereka tak akan main main mata. Mereka akan tetap fight untuk menyempurnakan gelar juara. Apalagi, dipastikan laga itu akan disaksikan petinggi-petinggi POLRI yang notabene pemilik saham The Guardian.

Di sisi lain, stadion full dengan penonton. Hanya saja, sebagian besar adalah suporter fanatik Persija, The Jakmania. Alhasil, selama pertandingan yang terdengar adalah lantunan dukungan untuk tim tamu. Bukan teriakan dari fanatisme tim tuan rumah.

Pertandingan berlangsung seru. Jual beli serangan antara kedua tim terjadi. Hujan kartu kuning dan satu kartu merah pun mewarnai laga tersebut. Macan Kemayoran yang pada babak kedua tampil dengan 10 pemain, ternyata malah bisa mengambil keuntungan. Mereka bisa melesakkan gol pada menit-menit akhir babak kedua. Kedudukan akhir, Persija menang 2-1.


Dari sinilah, drama di Stadion Patriot itu muncul. Kemenangan 2-1 atas Bhayangkara FC membuat seluruh stadion bergemuruh. Perjuangan tanpa kenal lelah yang ditunjukkan Bambang Pamungkas dkk menunjukkan hasil yang sepadan. Mereka sukses mengalahkan tim juara!

Tak hanya itu, kemenangan itu pula yang membuat Persija mengakhiri kompetisi pada peringkat keempat. Kemenangan yang sarat makna! “Pertandingan terbaik dari yang terbaik,” ujar salah satu ofisial Persija, setelah pertandingan.

Pemandangan di dalam stadion pun benar-benar membelakkan mata. Usai pertandingan, para pemain Persija merayakan kemenangan secara luar biasa. Ofisial saling berangkulan. Seperti biasa, para pemain meluapkan kegembiraan dengan cara mengitari stadion. Mereka mengucapkan terima kasih atas dukungan militan yang diberikan The Jakmania.

Ketua The Jakmania, Ferry Indra Sjarief menyebut apa yang dilakukan The Jakmania dan para pemain itu merupakan kebanggaan. “Bangga yang berlebihan. Bhayangkara memang juara. Tapi dalam dua kali pertemuan dengan Persija pada musim ini, mereka selalu kalah saat menghadapi Persija,” kata Ferry saat saya ngobrol dengannya dari tribun media.

Sementara di tengah lapangan, panpel dan seluruh anggota tim Bhayangkara FC sibuk untuk melakukan selebrasi perayaan juara. Ironisnya, mereka tak mendapatkan perhatian serius dari sebagain besar penonton, yang ada malah ejeken dan caci maki.

Ketika para pemain Bhayangkara FC bersiap untuk menerima trofi juara, spontan sebagian besar penonton malah berteriak, “huuu....huu....huuuuu.” Lebih tragis lagi, saat panitia menyiapkan tim penabuh drum pertanda penyerahan trofi segera dimulai, secara bersamaan penonton di tribun utara berteriak “sahur, sahur, sahur.”

Lucu, kreatif, unik, jengkel, kecewa, bahagia, kompak, semuanya menjadi satu. Pemandangan yang tentu saja sangat aneh harus terjadi pada saat perayaan juara. Tapi, yo itulah faktanya, sob!

Ironis memang. Ada kontestan kompetisi yang merayakan gelar juara strata tertinggi di kandangnya sendiri, tapi tampak sepi. Tanpa ada dukungan maksimal dari pendukung fanatik. Yang ada justru perayaan berlebih dari suporter lawan.

Terlepas dari penyerahan gelar juara kepada Bhayangkara FC, apa pun alasannya, pemandangan di Stadion Patriot pada Minggu malam itu bak tamparan keras bagi PSSI. Juga pelajaran berharga bagi operator kompetisi.

Juara merupakan keberhasilan yang sakral bagi sebuah tim. Sudah selayaknya tim juara harus melewati ‘masa seleksi’ yang benar-benar proporsional dan logis. Tak ada kejutan di penghujung kompetisi.

Untuk mencari tim juara, seyogyanya, ada proses panjang yang terbuka. Regulasi yang jelas dan transparan pada setiap pertandingan, harus diinformasikan. Tak ada riak-riak kecil yang akhirnya saling curiga.

Bukannya apa-apa, karakter dari bangsa ini, gelar juara di sepak bola nasional kerap menandakan makna yang sakaral. Juara selalu identik dengan hajatan besar bagi kota yang bersangkutan. Alhasil, selalu ada fanatisme dan militansi dari pendukungnya.

Tak percaya? Tengoklah rentetan juara sejak kompetisi strata tertinggi Indonesia berubah menjadi Liga Indonesia pada 1994-1995. Mulai dari Persib Bandung, PSM Makassar, PSIS Semarang, Petrokimia Putra, Persebaya Surabaya, Arema Malang, Persik Kediri, Sriwijaya FC, hingga ke Persipura Jayapura. Semua menunjukkan fenomena yang sama.

sumber : UC News
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==